20110113-Khairil Anwar-Muwatha'-Bab Tayammun_Mari Tetap Sholat di Kala Tidak Mendapatkan Air
Kisah Munculnya Syari’at Tayammum
Kisah ini
diceritakan oleh Aisyah istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Suatu saat, ia bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
salah satu perjalanannya. Ketika mereka telah sampai di Baida’ atau
Dzatul Jaisy (hendak memasuki kota Madinah), tiba-tiba Aisyah kehilangan
kalung yang dipinjamnya dari Asma. Akhirnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berhenti dan berkenan mencarinya dan orang-orang pun
ikut mencarinya. Waktu itu mereka berhenti di tempat yang tidak ada
airnya dan mereka juga tidak membawa air.
Akhirnya (saat kalung
Aisyah belum juga diemukan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidur di pangkuan Aisyah radhiallahu ‘anha. Saat itu orang-orang
mengeluh kepada Abu Bakar ash-Shidiq, “Tidakkah engkau lihat apa yang
dilakukan Aisyah? Ia telah menghentikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan orang banyak, padahal mereka tidak di tempat yang ada
airnya dan tidak membawa air.”
Abu Bakar pun mendatangi Aisyah
dan memarahinya. Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan, “Abu Bakar
mencercaku dan mengatakan apa yang dikehendaki Allah untuk
mengatakannya. Ia pun memukulku dengan keras seraya berkata,’Apa engkau
menahan orang-orang ini karena kalung?!’ Aku tidak bisa berbuat apa-apa
karena keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun itu
terasa menyakitkanku. Aku tidak dapat berbuat sedikit pun karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di pangkuanku.”
Kemudian
tibalah waktu shalat, dan mereka tidak menemukan air. Dalam satu
riwayat, para sahabat akhirnya shalat tanpa wudhu. Hal tersebut
disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Allah
menurukan ayat tayammum (yaitu al-Maa-idah ayat 6). Usaid bin Hudhair
berkata kepada Aisyah, “Semoga Allah membalas kebaikan bagimu. Demi
Allah, tidaklah engkau mengalami perkara yang tidak engkau sukai,
kecuali Allah memberikan untukmu (jalan keluarnya), dan (menjadikan)
kebaikan bagi kaum muslimin di dalamnya.” (HR. Bukhari dari beberapa
jalan periwayatan)
Dalil Syariat Tayammum
Ada banyak dalil
yang menunjukkan disyari’atkannya tayammum. Salah satunya adalah hadits
berikut,
Dari Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
“(Pada suatu saat) aku junub, lalu tidak mendapatkan air. Kemudian aku
berguling-guling di atas permukaan tanah lalu shalat. Setelah itu,
‘kusampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebenarnya
cukuplah bagimu hanya (melakukan) begini,” yaitu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menepukkan kedua telapak tangannya pada permukaan
tanah, kemudian meniup keduanya, lalui Beliau mengusapkan kedua
tangannya pada wajah dan kedua telapak tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Saat-Saat
Bolehnya Bertayammum
1. Saat tidak mendapatkan air.
Ketika dalam keadaan mukim (tidak berpergian) ataupun bepergian,
seseorang boleh bertayammum dengan syarat ia tidak mendapatkan air dan
khawatir kehabisan waktu shalat.
2. Ketika sakit dan sakitnya
tersebut menghalangi dirinya untuk menggunakan air. (Namun, bila
seseorang sakit, namun tidak berhalangan menggunakan air, maka dia tidak
boleh tayammum).
3. Saat air yang dimilikinya terbatas dan jika
digunakan untuk berwudhu akan membahayakan dirinya (karena bisa mati
kehausan).
4. Saat terhalang dari mengambil air, misalnya karena
ada musuh, pencuri, kebakaran dan semacamnya sehingga jika ia
menggunakan air akan membahayakan diri, harta dan kehormatannya.
5. Saat mendapatkan air, namun air tersebut sangat dingin dan
membahayakan dirinya dan ia tidak dapat memanaskan air tersebut.
6. Dalam keadaan junub dan air yang dimilikinya tidak cukup untuk
berwudhu atau mandi.
Zat yang Digunakan untuk Tayammum
Imam
Syafii, Imam Ahmad dan sebagian madzhab Dzohiri mengharuskan tayammum
dengan menggunakan tanah asli yang berdebu. Namun menurut pendapat yang
lebih kuat, tayammum boleh menggunakan semua jenis belahan bumi, tidak
harus bertayammum dengan tanah asli yang berdebu, bahkan boleh dimana
saja sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan
tayammum dari dinding. (lihat Ashl Shifat Shalat an-Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam 2/784, dikutip dari majalah Al-Furqon).
Hal ini
termasuk keistimewaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
rasul lainnya sebagaimana dalam hadits yang dibawakan oleh Jabir bin
Abdullah radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan
kepada seorang pun sebelumku. Aku diberi kemenangan dengan ditanamkan
rasa takut pada diri musuh dalam jarak sebulan perjalanan; seluruh
bagian bumi dijadikan tempat sujud dan alat bersuci; siapapun di antara
umatku yang menjumpai waktu shallat, maka shalatlah di mana ia berada….”
(HR. Bukhari)
Dan dalam ayat Al-Qur’an juga disebutkan,
“fatayammamu sha’iidan thayyiban” yang artinya, “Maka bertayammumlah
dengan sha’iid yang bersih”. Ibnul Manzhur mengatakan dalam Lisanul Arab
bahwa sha’id berarti tanah. Ia juga mengutip perkataan Abu Ishaq yang
menyatakan bahwa sha’id adalah permukaan tanah, maka orang yang hendak
tayammum cukup menepukkan kedua tangannya pada permukaan tanah dan tidak
perlu mempermasalahkan apakah tanah pada permukaan tersebut terdapat
debu atau tidak. (lihat Al-Wajiz)
Tata Cara Tayammum
1.
Niat dalam hati (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Membaca bismillah
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad dan lainnya).
3. Tepukkan
kedua tangan kalian ke tanah yang suci (atau semua jenis belahan bumi)
sekali Syaikh al-Bani mengatakan bahwa pada riwayat Ibnu Khuzaimah dalam
kitab Shahih-nya disebutkan secara ringkas bahwa tayammum adalah satu
tepukan debu untuk wajah dan kedua telapak tangan.
Tiuplah
debu yang ada padanya atau dikibaskan agar debunya berjatuhan. Hal ini
dilakukan jika ternyata banyak debu yang menempel di kedua tangan
sebagaimana difatwakan oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah.
4.
Usapkan pada wajah sekali. (lihat artikel wudhu untuk melihat batasan
wajah). Kemudian usapkan kedua telapak tangan yang satu dengan telapak
tangan lain secara bergantian mulai dari ujung-ujung jari hingga
pergelangan tangan. (Poin 3 – 6, HR. Bukhari dan Muslim)
Setelah
Mendapatkan Air
Seseorang yang telah mendapatkan air dan tidak
terhalang dari menggunakannya, tidak diperbolehkan melakukan tayammum.
Namun bila sebelum menemukan air tersebut, ia melakukan tayammum dan
shalat dengannya, maka ia tidak perlu mengulangi shalat yang telah
dilakukannya meskipun waktu shalat tersebut masih ada. Hal ini
sebagaimana dalam hadits yang diceritakan oleh Abu Sa’id al-Khudri
radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
“Pernah ada dua orang bepergian
bersama. Ketika dalam perjalanan, datanglah waktu shalat, namun mereka
tidak mendapatkan air. Mereka pun tayammum dengan tanah yang suci, lalu
shalat. Setelah selesai shalat, mereka mendapatkan air, sedangkan waktu
shalat masih ada. Salah seorang dari mereka berwudhu lalu mengulangi
shalatnya, sedangkan yang satunya tidak mengulangi shalatnya. Setelah
pulang, mereka datang dan menceritakan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kejadian yang mereka alami. Rasulullah berkata kepada
yang tidak mengulangi shalatnya, ‘Kamu telah mengikuti sunnah dan shalat
yang kamu lakukan telah cukup bagimu.’ Sedangkan kepada yang mengulangi
wudhu dan shalatnya beliau berkata, ‘Kamu mendapatkan dua pahala.’”
(HR. Abu Dawud dan an-Nasai, dishahihkan oleh syaikh al-Albani)
Syaikh
Ibnu Baz menjelaskan maksud dari hadits ini adalah, orang yang tidak
mengulangi shalatnya telah melakukan suatu yang benar karena telah
mencukupkan dengan kemampuan yang ada (ketika tidak ada air). Adapun
orang yang mengulangi shalatnya melakukan ijtihad. Dan maksud perkataan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mendapat dua pahala adalah
pahala dari shalatnya yang pertama dan yang kedua adalah dari ijtihadnya
untuk mengulang shalatnya yang ia maksudkan untuk mengikuti sunnah
Nabi.
Demikian tata cara tayammum yang diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan