Kedudukan hadits:
Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam meng'aqiqahkan dirinya setelah diutus
Berkata Al Hafidz ibnu Hajar dalam Talkhis Al Habiir
4/362: "Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (9/300) dari hadits Qatadah dari
Anas. Al Baihaqi berkata: "Munkar". Di dalam sanadnya terdapat Abdullah
bin Muharrar ia sangat lemah.
Abdurrazaq berkata: "Para ulama memperbincangkan
(kelemahan) Abdullah bin Al Muharrar karena hadits ini".
Al Baihaqi berkata: "Dan telah diriwayatkan dari jalan
lain dari Qatadah dan dari jalan lain dari Anas namun tidak ada
apa-apanya".
Al Hafidz ibnu Hajar berkata: "Adapun jalan lainnya
dari Qatadah aku tidak melihatnya marfu' yang ada adalah fatwa beliau
sebagaimana yang dihikayatkan oleh ibnu Abdil Barr bahkan Al Bazzar dan
lainnya memastikan hadits ini bersendirian padanya Abdullah bin Al
Muharrar dari Qatadah.
Adapun jalan dari Anas dikeluarkan oleh Abu Syaikh
dalam "Al Adlahi" dan ibnu Aiman dalam mushannafnya dan Al Khallal dari
jalan Abdullah bin Al Mutsanna dari Tsumamah bin Abdillah bin Anas dari
ayahnya (Anas). An Nawawi berkata dalam Syarah Muhadzab: "Ini adalah
hadits yang batil".
Qultu (Abu Yahya): "Akan tetapi Al Hafidz ibnu Hajar
dalam fathul Bari menyatakan bahwa jalan Abdullah bin Al Mutsanna dari
Tsumamah dari ayahnya sanadnya jayyid.
Al Hafidz berkata: "Abu Syaikh mengeluarkan dari dua
jalan selain (jalan Abdullah bin Al Muharrar), pertama: dari riwayat
Isma'il bin Muslim dari Qatadah namun Isma'il juga dla'if (lemah),
sedangkan Abdurrazaq berkata: " Para ulama memperbincangkan (kelemahan)
Abdullah bin Al Muharrar karena hadits ini". Barangkali Isma'il mencuri
hadits ini darinya (Abdullah bin Al Muharrar).
Kedua: dari riwayat Abu Bakar Al Mustamli dari Al
Haitsam bin Jamil dan Daud Al Muhabbir keduanya berkata: "Haddatsana
Abdullah bin Al Mutsanna dari Tsumamah dari Anas. Daud lemah sedangkan
Haitsam tsiqah dan Abdullah bin Al Mutsanna termasuk rijal Bukhari
sehingga hadits ini sanadnya qawiy (kuat).
Muhammad bin Abdul Malik bin Aiman mengeluarkan dari
Ibrahim bin Ishaq dari Amru An Naaqid, dan Ath Thabrani dalam Al Ausath
meriwayatkan dari Ahmad bin Mas'ud keduanya dari Al Haitsam bin Jamil
saja. Kalau bukan karena ada pembicaraan pada Abdullah bin Al Mutsanna
tentu hadits ini menjadi shahih". (Fathul Bari 9/595).
Qultu (Abu Yahya): "Abdullah bin Mutsanna memang
diperbincangkan oleh para ulama Al Jarh watta'dil; ada yang
menganggapnya lemah dan ada yang menganggapnya tsiqah, penjelasannya
sebagai berikut:
Abu Hatim berkata: "Dzalik". Beliau juga berkata
tentangnya: "Syaikh".
Yahya bin Ma'in dalam riwayat Ishaq bin Manshur
berkata: "Shalih". Sedangkan dalam riwayat ibnu Abi Khaitsamah: "Laisa
bisyai".
Abu Zur'ah berkata: "Shalih".
Abu Dawud berkata: "Aku tidak mengeluarkan haditsnya".
Al 'Ijli berkata: "Tsiqah".
Ibnu Hibban berkata: "Rubbama akhta'.
At Tirmidzi berkata: "Tsiqah".
As Saji berkata: "Dla'if, bukan termasuk ahli dalam
hadits ia meriwayatkan beberapa hadits munkar".
Ad Daraquthni terkadang mentsiqahkan dan terkadang
mendla'ifkannya. (Tahdzibuttahdzib 5/388).
Al Bukhari meriwayatkan haditsnya dalam Ash Shahih.
Al Hafidz ibnu Hajar berkata: "Shaduq katsir ghalath".
(Taqributtahdzib hal 540).
Mendiskusikan
pendapat para ulama.
Kita diskusikan pendapat-pendapat ulama ini: Perkataan
Abu Hatim: "Syaikh". Adalah termasuk lafadz ta'dil peringkat ketiga
menurut ibnu Abi Hatim, Adz Dzahabi berkata: "Perkataan Abu hatim:
"Syaikh", bukan ungkapan tajrih (celaan)... akan tetapi bukan juga
ungkapan tautsiq, dan setelah diteliti menjadi jelas bagimu bahwa
ungkapan tersebut maknanya bukan hujjah". Qultu:
"Perkataan Adz Dzahabi bukan hujjah artinya bukan perawi yang selevel
dengan perawi yang berstatus hujjah, namun dibawahnya yaitu shaduq atau
dibawahnya lagi. Wallahu a'lam.
Sedangkan perkataan ibnu Ma'in: "Laisa bisyai".
Menunjukkan kepada dua makna: jarh (celaan) yang sangat berat atau
digunakan untuk perawi yang sangat sedikit haditsnya, dan yang dimaksud
adalah yang kedua karena dalam riwayat lain ibnu Ma'in mengatakan:
"shalih". Dan juga bila dibandingkan dengan perkataan ulama lainnya dan
lafadz shalih biasanya lafadz yang digunakan untuk menunjukkan
keshalihan dalam agama. Walauupun dibawa kepada makna yang pertama akan
tetapi ibnu Ma'in ini termasuk ulama mutasyaddid yang apabila menjarih
perawi tidak diterima dahulu sampai melihat perkataan ulama lainnya.
Sedangkan Abu Dawud menganggapnya lemah karena beliau
tidak mau mengeluarkan haditsnya namun ini bukan jarh yang berat. Adapun
imam Al 'Ijli adalah imam yang longgar dalam mentsiqahkan perawi dimana
vonis beliau tidak diterima dahulu sampai melihat perkataan ulama
lainnya, demikian At Tirmidzi namun dengan pentautsiqan mereka berdua
berat kemungkinan bahwa Abdullah bin Al Mutsanna ini berada pada status
shaduq namun ada padanya kelemahan sebagaimana yang ditunjukkan oleh
perkataan As Saaji, oleh karena itu Ad Daraquthni terkadang mengatakan:
"Tsiqah". Dan terkadang mengatakan dla'if". Dan ini yang ditunjukkan
oleh perkataan Al Hafidz dalam taqribnya: "Shaduq katsir ghalath (banyak
salahnya).
Qultu (Abu Yahya): "Dan Al Bukhari meriwayatkan hadits
Abdullah bin Al Mutsanna dalam shahihnya sekitar di 8 tempat akan
tetapi sebatas periwayatannya dari pamannya saja yaitu Tsumamah bin
Abdullah, dan di satu tempat yaitu di bab Al Qoza' meriwayatkan dari
Abdullah bin Dinar namun sebagai mutaba'ah. Seakan-akan beliau
mengisyaratkan bahwa periwayatan dari pamannya dapat diterima karena
biasanya keponakan lebih tahu tentang hadits-hadits pamannya.
Perbuatan imam Bukhari ini dapat dianggap menjamak
semua perkataan ulama di atas yakni bahwa Abdullah bin Mutsanna bila
meriwayatkan dari pamannya dapat diterima haditsnya sedangkan apabila
meriwayatkan dari yang lainnya terdapat kelemahan padanya namun bukan
kelemahan yang amat sangat. Wallahu a'lam.
Kesimpulan.
Dan hadits yang sedang kita bahas ini ternyata
periwayatan Abdullah bin Al Mutsanna dari pamannya sehingga hadits ini
menjadi hasan. Dan Al Hafidz mengatakan dalam fathul bari bahwa Abdullah
bin Al Muharrar tidak bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini namun
ada jalan lain yaitu jalan Isma'il bin Muslim dari Qatadah, dan Isma'il
ini dinyatakan dla'if oleh Al Hafidz, namun dla'if yang tidak berat
sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim: "Isma'il dla'if haditsnya dan
bukan matruk dan haditsnya ditulis". Artinya masih dapat dijadikan
I'tibar sehingga dapat menguatkan hadits Abdullah bin Al Mutsanna dan
menaikkan derajatnya menjadi shahih lighairihi. Wallahu a'lam.
Menepis syubhat I.
Al Hafidz berkata: "Barangkali Isma'il mencurinya dari
Abdullah bin Al Muharrar.
Jawab: "Ini adalah klaim tanpa bukti dan dalil, karena
Isma'il ini tidak ada seorang ulamapun yang menuduhnya sebagai pencuri
hadits, terlebih Isma'il ini adalah perawi yang faqih, mufti, hafal
hadits sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad bin Abdullah Al Anshari.
Menepis syubhat II.
Imam An nawawi mengatakan bahwa hadits Abdullah bin Al
Mutsanna dari pamannya dari Anas adalah hadits yang batil sebagaimana
yang dinukil oleh Al Hafidz dalam Talkhis Al Habiir.
Jawab: "Setelah kita mempelajari bagaimana keadaan
Abdullah bin Al Mutsanna dapat kita katakan bahwa klaim imam An nawawi
ini tidak benar, terlebih imam Al bukhari mengeluarkan hadits Abdullah
bin Al Mutsanna dari pamannya dalam shahihnya dan beliau berhujjah
dengannya. Dan ibnu Hajar sendiri dalam fathul bari menganggap haditsnya
jayyid.
Menepis syubhat III.
Al Hafidz ibnu Hajar mengatakan bahwa mengaqiqahkan
diri sendiri bisa jadi khusus untuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Jawab: "Klaim bahwa suatu perbuatan Nabi itu khusus
untuk beliau adalah klaim yang membutuhkan kepada dalil sebagaimana yang
disebutkan dalam ushul fiqih dan ternyata tidak ada dalil yang
menunjukkan kepada hal itu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan