11 Januari 2008

Kedudukan hadits:

Kedudukan hadits:
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meng'aqiqahkan dirinya setelah diutus
Berkata Al Hafidz ibnu Hajar dalam Talkhis Al Habiir 4/362: "Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (9/300) dari hadits Qatadah dari Anas. Al Baihaqi berkata: "Munkar". Di dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar ia sangat lemah.
Abdurrazaq berkata: "Para ulama memperbincangkan (kelemahan) Abdullah bin Al Muharrar karena hadits ini".
Al Baihaqi berkata: "Dan telah diriwayatkan dari jalan lain dari Qatadah dan dari jalan lain dari Anas namun tidak ada apa-apanya".
Al Hafidz ibnu Hajar berkata: "Adapun jalan lainnya dari Qatadah aku tidak melihatnya marfu' yang ada adalah fatwa beliau sebagaimana yang dihikayatkan oleh ibnu Abdil Barr bahkan Al Bazzar dan lainnya memastikan hadits ini bersendirian padanya Abdullah bin Al Muharrar dari Qatadah.
Adapun jalan dari Anas dikeluarkan oleh Abu Syaikh dalam "Al Adlahi" dan ibnu Aiman dalam mushannafnya dan Al Khallal dari jalan Abdullah bin Al Mutsanna dari Tsumamah bin Abdillah bin Anas dari ayahnya (Anas). An Nawawi berkata dalam Syarah Muhadzab: "Ini adalah hadits yang batil".
Qultu (Abu Yahya): "Akan tetapi Al Hafidz ibnu Hajar dalam fathul Bari menyatakan bahwa jalan Abdullah bin Al Mutsanna dari Tsumamah dari ayahnya sanadnya jayyid.
Al Hafidz berkata: "Abu Syaikh mengeluarkan dari dua jalan selain (jalan Abdullah bin Al Muharrar), pertama: dari riwayat Isma'il bin Muslim dari Qatadah namun Isma'il juga dla'if (lemah), sedangkan Abdurrazaq berkata: " Para ulama memperbincangkan (kelemahan) Abdullah bin Al Muharrar karena hadits ini". Barangkali Isma'il mencuri hadits ini darinya (Abdullah bin Al Muharrar).
Kedua: dari riwayat Abu Bakar Al Mustamli dari Al Haitsam bin Jamil dan Daud Al Muhabbir keduanya berkata: "Haddatsana Abdullah bin Al Mutsanna dari Tsumamah dari Anas. Daud lemah sedangkan Haitsam tsiqah dan Abdullah bin Al Mutsanna termasuk rijal Bukhari sehingga hadits ini sanadnya qawiy (kuat).
Muhammad bin Abdul Malik bin Aiman mengeluarkan dari Ibrahim bin Ishaq dari Amru An Naaqid, dan Ath Thabrani dalam Al Ausath meriwayatkan dari Ahmad bin Mas'ud keduanya dari Al Haitsam bin Jamil saja. Kalau bukan karena ada pembicaraan pada Abdullah bin Al Mutsanna tentu hadits ini menjadi shahih". (Fathul Bari 9/595).
Qultu (Abu Yahya): "Abdullah bin Mutsanna memang diperbincangkan oleh para ulama Al Jarh watta'dil; ada yang menganggapnya lemah dan ada yang menganggapnya tsiqah, penjelasannya sebagai berikut:
Abu Hatim berkata: "Dzalik". Beliau juga berkata tentangnya: "Syaikh".
Yahya bin Ma'in dalam riwayat Ishaq bin Manshur berkata: "Shalih". Sedangkan dalam riwayat ibnu Abi Khaitsamah: "Laisa bisyai".
Abu Zur'ah berkata: "Shalih".
Abu Dawud berkata: "Aku tidak mengeluarkan haditsnya".
Al 'Ijli berkata: "Tsiqah".
Ibnu Hibban berkata: "Rubbama akhta'.
At Tirmidzi berkata: "Tsiqah".
As Saji berkata: "Dla'if, bukan termasuk ahli dalam hadits ia meriwayatkan beberapa hadits munkar".
Ad Daraquthni terkadang mentsiqahkan dan terkadang mendla'ifkannya. (Tahdzibuttahdzib 5/388).
Al Bukhari meriwayatkan haditsnya dalam Ash Shahih.
Al Hafidz ibnu Hajar berkata: "Shaduq katsir ghalath". (Taqributtahdzib hal 540).
Mendiskusikan pendapat para ulama.
Kita diskusikan pendapat-pendapat ulama ini: Perkataan Abu Hatim: "Syaikh". Adalah termasuk lafadz ta'dil peringkat ketiga menurut ibnu Abi Hatim, Adz Dzahabi berkata: "Perkataan Abu hatim: "Syaikh", bukan ungkapan tajrih (celaan)... akan tetapi bukan juga ungkapan tautsiq, dan setelah diteliti menjadi jelas bagimu bahwa ungkapan tersebut maknanya bukan hujjah". Qultu: "Perkataan Adz Dzahabi bukan hujjah artinya bukan perawi yang selevel dengan perawi yang berstatus hujjah, namun dibawahnya yaitu shaduq atau dibawahnya lagi. Wallahu a'lam.
Sedangkan perkataan ibnu Ma'in: "Laisa bisyai". Menunjukkan kepada dua makna: jarh (celaan) yang sangat berat atau digunakan untuk perawi yang sangat sedikit haditsnya, dan yang dimaksud adalah yang kedua karena dalam riwayat lain ibnu Ma'in mengatakan: "shalih". Dan juga bila dibandingkan dengan perkataan ulama lainnya dan lafadz shalih biasanya lafadz yang digunakan untuk menunjukkan keshalihan dalam agama. Walauupun dibawa kepada makna yang pertama akan tetapi ibnu Ma'in ini termasuk ulama mutasyaddid yang apabila menjarih perawi tidak diterima dahulu sampai melihat perkataan ulama lainnya.
Sedangkan Abu Dawud menganggapnya lemah karena beliau tidak mau mengeluarkan haditsnya namun ini bukan jarh yang berat. Adapun imam Al 'Ijli adalah imam yang longgar dalam mentsiqahkan perawi dimana vonis beliau tidak diterima dahulu sampai melihat perkataan ulama lainnya, demikian At Tirmidzi namun dengan pentautsiqan mereka berdua berat kemungkinan bahwa Abdullah bin Al Mutsanna ini berada pada status shaduq namun ada padanya kelemahan sebagaimana yang ditunjukkan oleh perkataan As Saaji, oleh karena itu Ad Daraquthni terkadang mengatakan: "Tsiqah". Dan terkadang mengatakan dla'if". Dan ini yang ditunjukkan oleh perkataan Al Hafidz dalam taqribnya: "Shaduq katsir ghalath (banyak salahnya).
Qultu (Abu Yahya): "Dan Al Bukhari meriwayatkan hadits Abdullah bin Al Mutsanna dalam shahihnya sekitar di 8 tempat akan tetapi sebatas periwayatannya dari pamannya saja yaitu Tsumamah bin Abdullah, dan di satu tempat yaitu di bab Al Qoza' meriwayatkan dari Abdullah bin Dinar namun sebagai mutaba'ah. Seakan-akan beliau mengisyaratkan bahwa periwayatan dari pamannya dapat diterima karena biasanya keponakan lebih tahu tentang hadits-hadits pamannya.
Perbuatan imam Bukhari ini dapat dianggap menjamak semua perkataan ulama di atas yakni bahwa Abdullah bin Mutsanna bila meriwayatkan dari pamannya dapat diterima haditsnya sedangkan apabila meriwayatkan dari yang lainnya terdapat kelemahan padanya namun bukan kelemahan yang amat sangat. Wallahu a'lam.
Kesimpulan.
Dan hadits yang sedang kita bahas ini ternyata periwayatan Abdullah bin Al Mutsanna dari pamannya sehingga hadits ini menjadi hasan. Dan Al Hafidz mengatakan dalam fathul bari bahwa Abdullah bin Al Muharrar tidak bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini namun ada jalan lain yaitu jalan Isma'il bin Muslim dari Qatadah, dan Isma'il ini dinyatakan dla'if oleh Al Hafidz, namun dla'if yang tidak berat sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim: "Isma'il dla'if haditsnya dan bukan matruk dan haditsnya ditulis". Artinya masih dapat dijadikan I'tibar sehingga dapat menguatkan hadits Abdullah bin Al Mutsanna dan menaikkan derajatnya menjadi shahih lighairihi. Wallahu a'lam.
Menepis syubhat I.
Al Hafidz berkata: "Barangkali Isma'il mencurinya dari Abdullah bin Al Muharrar.
Jawab: "Ini adalah klaim tanpa bukti dan dalil, karena Isma'il ini tidak ada seorang ulamapun yang menuduhnya sebagai pencuri hadits, terlebih Isma'il ini adalah perawi yang faqih, mufti, hafal hadits sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad bin Abdullah Al Anshari.
Menepis syubhat II.
Imam An nawawi mengatakan bahwa hadits Abdullah bin Al Mutsanna dari pamannya dari Anas adalah hadits yang batil sebagaimana yang dinukil oleh Al Hafidz dalam Talkhis Al Habiir.
Jawab: "Setelah kita mempelajari bagaimana keadaan Abdullah bin Al Mutsanna dapat kita katakan bahwa klaim imam An nawawi ini tidak benar, terlebih imam Al bukhari mengeluarkan hadits Abdullah bin Al Mutsanna dari pamannya dalam shahihnya dan beliau berhujjah dengannya. Dan ibnu Hajar sendiri dalam fathul bari menganggap haditsnya jayyid.
Menepis syubhat III.
Al Hafidz ibnu Hajar mengatakan bahwa mengaqiqahkan diri sendiri bisa jadi khusus untuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Jawab: "Klaim bahwa suatu perbuatan Nabi itu khusus untuk beliau adalah klaim yang membutuhkan kepada dalil sebagaimana yang disebutkan dalam ushul fiqih dan ternyata tidak ada dalil yang menunjukkan kepada hal itu.
Mizanul I'tidal 2/385.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan