Apakah tidur membatalkan wudlu ?
Para
ulama berselisih dalam masalah ini menjadi delapan pendapat, dan yang
rajih wallahu a'lam adalah pendapat yang mengatakan bahwa tidur itu
membatalkan wudlu secara mutlak berdasarkan beberapa dalil:
1. Hadits Shofwan bin 'Assal
radliyallahu 'anhu ia berkata:
كَانَ
يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفْرًا أَوْ مُسَافِرِينَ أَنْ لاَ نَنْزِعَ
خِفَافَنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ
لَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ.
"Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memerintahkan kami untuk tidak mencabut khuff selama tiga hari tiga
malam ketika buang air besar, buang air kecil dan tidur, kecuali bila
mandi janabah (harus dibuka)". (HR At Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya).[1]
Dalam
hadits ini Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyamakan tidur dengan
buang air besar dan kecil, dan hadits ini mutlak mencakup semua jenis
tidur baik sebentar maupun lama, baik berat maupun ringan.
2. Hadits
Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu:
إِنَّ
السَّهَ وِكَاءُ الْعَيْنِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
"Sesungguhnya dubur itu pengikatnya adalah mata, maka
barang siapa yang tidur hendaklah ia berwudlu".
Hadits
ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya no 887 dari jalan Ali bin
Bahr haddatsana Baqiyyah bin Al Walid Al Himshi haddatsani Al Wadliin
bin 'Atha dari Mahfudz bin 'Alqamah dari Abdurrahman bin 'Aidz Al Azdiy
dari Ali bin bi Thalib dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Qultu:
"Sanad hadits ini hasan karena Mahfudz bin 'Alqamah adalah perawi yang
shaduq sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafidz dalam taqribnya, dan Al
Wadliin yang rajih adalah perawi yang tsiqah, ia dianggap tsiqah oleh
ibnu Ma'in dan imam Ahmad bin Hanbal, dan Baqiyyah walaupun ia perawi
mudallis namun ia mengucapkan haddatsana dari Al Wadliin sehingga hilang
syubhat tadlisnya".
Dan hadits ini
mempunyai syahid dari hadits Mu'awiyah bin Abi Sufyan diriwayatkan oleh
Ad Daraquthni dalam sunannya no 2 dan Ad Darimi juga dalam sunannya no
722 dan yang lainnya dari jalan Baqiyah dari Abu Bakar bin Abi Maryam
haddatsani 'Athiyyah bin Qais Al Kilaa'I dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mata adalah pengikat
dubur, apabila mata tertidur maka terbukalah pengikatnya". Qultu: "Sanad
ini lemah karena Baqiyyah ini tsiqah namun mudallis dan meriwayatkan
dengan lafadz 'an dan Abu Bakar bin Abi Maryam ini lemah, dan Baqiyyah
dimutaba'ah oleh Al Walid bin Muslim yang juga mudallis, dikeluarkan
oleh Ath Thabrani dalam mu'jam kabirnya no 875. Dan Abu Bakar diselisihi
oleh Marwan bin Janah yang meriwayatkan dari 'Athiyah dari Mu'awiyah
secara mauquf dikeluarkan oleh Al baihaqi dalam sunannya 1/118 no 591
dan Marwan
bin Janah dikatakan oleh Al Hafidz: "Laa basa bihi". Oleh karena itu Al
Walid berkata:
"Marwan lebih tsabit dari Abu Bakar". Artinya bahwa periwayatan Marwan
lebih kuat sehingga yang rajih hadits ini adalah mauquf. Akan tetapi
hadits ini menjadi terangkat menjadi hasan karena dikuatkan oleh hadits
Ali di atas, dan hadits Ali naik menjadi shahih lighairihi dengan hadits
Mu'awiyah ini.[2]
Faidah penting :
Sebagian ulama menuduh Baqiyyah bin
Al Walid sebagai perawi yang suka melakukan tadlis taswiyah, namun
tuduhan ini tidak benar sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu Hibban
dalam kitab Al Majruhin 1/201, beliau berkata: "Sesungguhnya Baqiyyah
ini diuji oleh murid-muridnya yang menggugurkan perawi-perawi yang lemah
dan mentaswiyahnya, maka menempellah (tuduhan tersebut) semuanya kepada
Baqiyyah".[3]
Dalam
hadits ini Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan orang yang
tidur untuk berwudlu, dan perintah ini juga bersifat mutlak baik tidur
yang berat maupun tidur yang ringan.
3. Kesepakatan
para ulama bahwa orang yang hilang akalnya seperti pingsan dan gila
wajib berwudlu bagaimanapun keadaannya.
Ini adalah dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa tidur membatalkan secara mutlak, namun disana ada
dalil-dalil yang menunjukkan bahwa tidur tidak membatalkan wudlu,
diantaranya adalah hadits ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma ia berkata:
ثُمَّ نَامَ
حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ قَالَ خَطِيطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى
الصَّلَاةِ
"…Kemudian beliau tidur sampai aku mendengar suara
mendengkurnya, kemudian beliau keluar menuju shalat. (HR Bukhari dan
Muslim).[4]
Demikian
pula hadits Anas radliyallahu 'anhu ia berkata:
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ
"Adalah para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam tidur kemudian shalat dan tidak berwudlu lagi". (Muslim).[5]
Dan dalam riwayat lain dijelaskan:
كَانَ
أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حَتَّى تَخْفِقَ رُءُوسُهُمْ ثُمَّ
يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ
"Adalah para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam menunggu shalat isya sampai kepala mereka terkantuk-kantuk
kemudian mereka shalat dan tidak berwudlu lagi". (HR Abu Dawud).[6]
Akan
tetapi hadits-hadits tersebut tidak dapat mengalahkan kekuatan hadits
yang menunjukkan bahwa tidur itu membatalkan wudlu, dari beberapa sisi:
Pertama:
Bahwa hadits-hadits tersebut adalah hikayat perbuatan atau disebut juga
waqi'atul 'ain sedangkan waqia'tul 'ain tidak berlaku umum sebagaimana
yang disebutkan dalam ushul fiqih, karena ia mempunyai banyak
kemungkinan diantaranya adalah adanya kemungkinan belum adanya perintah
untuk berwudlu pada waktu itu lalu kemudian diperintahkan, dan kaidah
juga mengatakan: "Apabila sebuah dalil mempunyai beberapa kemungkinan
yang sama kuatnya maka tidak bisa dijadikan dalil".
Kedua:
Bahwa hadits-hadits yang membatalkan bersifat qouli (perkataan)
sedangkan hadits-hadits yang tidak membatalkan bersifat fi'il
(perbuatan) dan kaidah ushul berkata: "Apabila perkataan bertabrakan
dengan perbuatan maka lebih didahulukan perkataan".
Ketiga:
Al Khathabi berkata: "Hakikat tidur adalah ketidak sadaran yang berat
yang menimpa hati sehingga memutuskannya dari mengetahui perkara-perkara
yang bersifat lahiriyah. Sedangkan mengantuk adalah orang yang
diberatkan oleh sesuatu yang berat (keinginan tidur yang sangat berat)
sehingga mencegahnya untuk mengetahui perkara yang bathin".[7]
Dengan definisi ini kita dapat memahami bahwa hadits ibnu Abbas dan
Anas tersebut masuk dalam kategori mengantuk.
Wallahu a'lam.
[1] Dikeluarkan oleh At Tirmidzi dalam sunannya,
ibnu Majah dalam sunannya dan lainnya semuanya dari jalan 'Ashim bin
Bahdalah dari Zirr bin Hubaisy dari Shofwan. Qultu: "Sanad hadits ini
hasan karena 'Ashim adalah perawi yang hasan haditsnya, Al Hafidz
berkata dalam At Taqrib: "Shaduq lahu auham".
[2] Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Al Bani
rahimahullah. Lihat shahih Jami' Ash Shaghier no 4148 dan 4149.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan