Menyelami perkataan imam
Asy Syathibi
Imam
Asy Syathibi rahimahullah berkata: "Setiap orang yang mengikuti
mutasyabihat atau merubah-rubah manath atau
menafsirkan ayat-ayat dengan penafsiran yang tidak pernah difahami oleh
salafusshalih atau berpegang dengan hadits-hadits yang lemah atau
memahami dalil dengan pemahaman yang dangkal untuk membenarkan perbuatan
atau perkataan atau keyakinan yang sesuai dengan seleranya maka ia
tidak akan pernah beruntung..
barang
siapa yang ingin menyelamatkan dirinya hendaklah ia tatsabbut
(memeriksa dengan teliti) sampai menjadi jelas kepadanya jalan
(kebenaran), namun barang siapa yang meremehkan masalah ini, ia akan
dilemparkan oleh hawa nafsu dalam jurang yang tidak ada tempat
keselamatan kecuali dengan apa yang Allah kehendaki".
Perkataan
Imam Asy Syathibi di atas menyebutkan beberapa cara yang dinggunakan
para imam yang menyesatkan dalam mengelabui manusia, yaitu:
Pertama:
Mengikuti mutasyabihat.
Mutasyabihat
adalah ayat-ayat yang tidak ada yang mengetahui maknanya kecuali Allah
sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"..
Adapun orang-orang yang hatinya condong (kepada kesesatan) mereka
mengikuti yang mutasyabih karena menginginkan fitnah dan mencari-cari
ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali Allah..".
(Ali Imran : 7).
Contohnya
adalah ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat-sifat Allah Ta'ala,
dimana dari sisi maknanya telah diketahui dalam bahasa arab namun dari
sisi hakikat dan tata caranya tidak ada yang mengetahuinya selain Allah,
seperti sifat yad yang artinya tangan dari sisi sini maknanya jelas
namun hakikat bentuknya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, dan
ahlussunnah menetapkan sifat tangan bagi Allah dan mengatakan bahwa
tangan Allah tidak serupa dengan tangan makhluk-Nya.
Akan
tetapi kelompok jahmiyah dan Mu'tazilah mengikuti mutasyabihat, mereka
tidak dapat menerima ayat-ayat seperti ini karena mereka memikirkan
hakikat dan bentuk tangan Allah dengan akal mereka yang lemah, lalu
menyerupakan Allah dengan makhluknya dengan mengatakan: "Bila Allah
mempunyai tangan berarti Allah berupa jasad renik yang membutuhkan satu
sama lainnya". Hasilnya mereka menolak sifat ini dan menta'wil maknanya
dengan mengatakan bahwa maksud tangan adalah ni'mat dan sebagainya. Maha
suci Allah dari apa yang mereka katakan.
Sebagian
ulama menafsirkan makna mutasyabihat bahwa ia adalah ayat yang
mengandung beberapa makna dan tidak mungkin menentukan salah satu
maknanya kecuali dengan merujuk ayat yang muhkam.
Dan makna inipun benar dan tidak bertentangan dengan ayat di atas,
karena hanya Allah yang mengetahui maknanya dan makna yang benar telah
Allah jelaskan dalam ayat-ayat yang muhkam, oleh karena itu sikap yang
benar terhadap ayat-ayat mutsyabihat adalah dengan mengembalikannya
kepada ayat-ayat yang muhkam bila ada, dan bila tidak ada maka tetap
mengimaninya tanpa bertanya tata caranya. Wallahu a'lam.
ibnu
Qayyim rahimahullah berkata: “Adapun tata cara para shahabat, tabi’in
dan para ulama hadits seperti Asy Syafi’I, Ahmad, Malik, Abu Hanifah,
Abu Yusuf, Al bukhari dan lainnya adalah mereka mengembalikan dalil yang
mutsyabih kepada dalil yang muhkam, dan mereka mengambil dalil yang
muhkam untuk menjelaskan dalil yang mutasyabih, sehingga dalil yang
mutasyabih tersebut sepakat dengan yang muhkam, dan nash pun saling
berpadu; membenarkan satu sama lainnya, karena semuanya berasal dari
Allah, dan yang berasal dari Allah tidak mungkin terjadi padanya
kontradiksi.”
Contohnya
adalah kata yad, dalam bahasa arab ia mempunyai beberapa makna yaitu
tangan, ni'mat dan lainnya sehingga kaum Asy 'Ariyah menolat sifat
tangan dengan alasan bahwa makna yad dalam bahasa arab mempunyai
beberapa makna, padahal bila kita melihat redaksi ayat yang muhkam
tampak dengan jelas bahwa yang dimaksud adalah tangan, Allah berfirman:
"Bahkan
kedua tangan Allah terbuka, Dia berinfak sesuai dengan apa yang Dia
kehendaki". (Al Maidah : 64).
Dalam
ayat ini disebutkan kata yad dengan bentuk mutsanna (dua), sedangkan
ni'mat Allah amatlah banyak tidak hanya dua, sebagaimana dalam ayat:
"Dan
jika kamu menghitung nikmat Allah, kamu tidak akan dapat
menghitungnya". (Ibrahim : 34).
Kedua:
Merubah-rubah manath.
Manath
adalah illat yaitu sifat yang tampak dan tetap dalam sebuah hukum atau
dengan kata lain alasan pensyari'atan, contohnya illat diharamkannya
arak adalah memabukkan, illat diharamkannya zina adalah merusak
keturunan dan seterusnya. Merubah-rubah manath adalah sifat pengikut
hawa nafsu yang bertujuan membenarkan hawa nafsunya, dan cara ini amat
mengelabui orang awam karena mereka akan menganggap benar apa yang
dilakukan olehnya.
Seperti
perkataan sebagian orang bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
berpuasa hari senin illatnya adalah dalam rangka merayakan hari
kelahirannya dengan bukti ketika beliau ditanya tentang puasa hari senin
beliau menjawab bahwa itu adalah hari kelahiran beliau shallallahu
'alaihi wasallam.
Bila
kita perhatikan sekilas tampak benar namun bila kita perhatikan secara
cermat dan kita bandingkan dengan pelaksanaan perayaan maulid yang ada
di zaman ini akan sangat jelas kebatilan pendapat ini karena Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam melakukannya dengan cara berpuasa sedangkan
mereka melaksanakannya dengan ritual-ritual yang tidak pernah dilakukan
oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ini bila kita menerima bahwa
illatnya adalah merayakan kelahirannya.
Akan
tetapi illat ini tidak benar karena dijelaskan dalam hadits lain bahwa
hari senin dan kamis adalah hari ditampakkan amal-amal shalih kepada
Allah Ta'ala sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ
وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
"Amal-amal
ditampakkan pada hari senin dan kamis maka aku suka amalanku
ditampakkan dalam keadaan aku berpuasa". (HR At Tirmidzi dan beliau
berkata: "Hadits hasan gharib".)
Perbuatan
merubah-rubah manath sering kali dilakukan kaum liberal di zaman ini
untuk merusak citra islam seperti perkataan mereka bahwa tujuan memotong
tangan pencuri adalah agar pelakunya tidak mencuri lagi, jadi bisa
diganti dengan cara lain seperti di beri uang atau dipenjara dan
lainnya. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentulah orang yang
paling mengetahui makna-makna ayat dan beliau memperaktekan ayat potong
tangan dengan cara memotong tangan pencuri sampai pergelangan tangannya,
dan ini adalah sanksi yang paling tepat agar mereka jera dan
meninggalkan pencurian, karena kenyataan membuktikan bahwa pencuri yang
sanksinya sebatas dipenjara tetap tidak jera dan kembali melakukannya,
bagaimana jadinya bila diberi uang. Allahul musta'an.
Ketiga:
Menafsirkan ayat-ayat dengan penafsiran yang tidak pernah difahami oleh
salafusshalih.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah memuji tiga generasi pertama dalam
sabdanya:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baiknya
manusia adalah generasiku kemudian setelahnya kemudian setelahnya". (HR
Bukhari dan Muslim).
Terutama
generasi para shahabat yang telah dipuji oleh Allah secara khusus dalam
kitab-Nya, dan menjadikan mereka sebagai parameter hidayah:
"Jika
mereka beriman kepada apa yang kamu beriman kepadanya, sungguh mereka
telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka
akan senantiasa berada dalam perselisihan..". (Al Baqarah : 137).
Kata
ganti "kamu" dalam ayat ini adalah untuk para shahabat, artinya bila
mereka beriman seperti apa yang diimani oleh para shahabat maka mereka
akan mendapat hidayah dan bila tidak maka mereka akan senantiasa
berselisih, dan firman Allah adalah benar sesuai dengan kenyataan yang
kita saksikan dimana setiap keyakinan yang menyimpang dari keyakinan dan
pemahaman para shahabat senantiasa dalam perselisihan dan permusuhan,
sebagian mereka menganggap sesat sebagian lainnya bahkan saling
mengkafirkan.
Para
imam kesesatan selalu berpaling dari pemahaman para shahabat karena
tidak sesuai dengan hawa nafsunya, ia akan menafsirkan ayat-ayat atau
hadits sesuai dengan hawa nafsu dan pemahamannya yang dangkal, bukan
hanya itu bahkan mereka menganggap bahwa generasi khalaf (belakangan)
dianggap lebih faham tentang ayat-ayat Allah dari pada generasi salaf,
dan menuduh bahwa salaf katanya terlalu terkstual dan tidak kontekstual
sebagaimana yang dinyatakan oleh gembong JIL di negeri ini.
Secara
akal saja tidak mungkin generasi yang paling fasih yang langsung
menyaksikan turunnya Al Qur'an dan melihat bagaimana Nabi shallallahu
'alaihi wasallam menafsirkannya akan lebih bodoh dari kaum liberalis
yang dungu itu, mungkinkah Allah memuji para shahabat dan menyatakan
keridlaan-Nya sebagaimana dalam surat At Taubah ayat 100 dan ternyata
kaum liberalis lebih tertunjuki dari mereka ?!
Atau
mungkinkah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan bahwa
sebaik-baik generasi adalah generasinya kemudian setelahnya kemudian
setelahnya, dan ternyata kaum liberalis itu lebih baik dari tiga
generasi yang utama ?! atau mungkinkah para ulama akan bersepakat di
atas kesesatan tatkala mereka semua bersepakat bahwa para shahabat
adalah sebaik-baiknya generasi dalam ilmu, pemahaman dan agama, padahal
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan bahwa umatnya tidak mungkin
bersepakat di atas kesesatan ?!!
Keempat:
Berpegang kepada dalil-dalil yang lemah.
Dalil
yang lemah hanya menghasilkan dzann yang marjuh (dugaan yang lemah) dan
dugaan yang lemah tidak boleh dipakai dengan kesepakatan seluruh ulama,
bagaimana kiranya bila dalil tersebut sangat lemah atau bahkan palsu,
oleh karena itu seluruh ulama bersepakat mengharamkan berdalil dengannya
dalam masalah aqidah, hukum maupun fadlilah amal.
Berdalil
dengan dalil yang lemah biasa digunakan di masyarakat yang dikuasai
oleh kebodohan terhadap ilmu hadits, dan para imam kesesatan akan
berusaha menyembunyikan kelemahan dalil yang ia pakai dengan berbagai
macam upaya, seperti mengklaim secara dusta bahwa hadits itu dikeluarkan
oleh Bukhari dan Muslim atau salah satunya padahal tidak demikian, atau
membawakan sebuah lafadz yang lemah namun ada lafadz lain yang shahih
akan tetapi lafadz yang shahih tersebut tidak terdapat padanya sesuatu
yang dapat mendukung ra'yunya, lalu ia gunakan lafadz yang lemah dan
menempelkannya kepada lafadz hadits yang shahih.
Contohnya
adalah berdalil dengan kisah hadits orang buta yang datang kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan memohon agar di do'akan kesembuhan
untuk matanya lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan do'a
kepadanya:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ
بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى
رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
"Ya
Allah, aku memohon dan menghadap kepada-Mu dengan melalui Nabi-Mu
Muhammad seorang Nabi rahmat. Sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada
Rabbku untuk memenuhi kebutuhanku ini, ya Allah berilah syafaat
untuknya padaku". (HR At Tirmidzi).
Hadits
ini dijadikan dalil bolehnya bertawassul melalui Nabi shallallahu
'alaihi wasallam setelah wafat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
padahal hadits ini tidak menunjukkan kepada yang pemahaman tersebut
karena hadits ini terjadi ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masih
hidup dan dilakukan di hadapan beliau, maka ia pun berhujjah dengan
sebuah lafadz dalam salah satu lafadz dari hadits tersebut yaitu
tambahan: "Jika ada hajat, lakukanlah seperti itu lagi". Tambahan inilah
yang diinginkan oleh orang yang membela bolehnya tawassul melalui Nabi
setelah wafatnya karena lafadz ini menunjukkan bolehnya melakukan do'a
tersebut kapan ada keperluan walaupun beliau telah tiada, padahal
tambahan ini diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah, sedangkan Syu'bah bin
Hajjaj meriwayatkan dengan tanpa tambahan tersebut. Dan Syu'bah jauh
lebih tsiqah dari Hammad bin Salamah sehingga tambahan tersebut dihukumi
syadz oleh para ulama yaitu periwayatan perawi yang tsiqah yang
berlawanan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah dan syadz
adalah salah satu macam hadits lemah.
Kelima:
Memahami dalil dengan pemahaman yang dangkal untuk membenarkan sebuah
perbuatan atau perkataan atau keyakinan.
Memahami
dengan pemahaman yang dangkal terjadi terkadang disebabkan oleh
kemalasan untuk mencari dalil lain yang menjelaskannya atau ketidak
tahuan peraktek para shahabat terhadap dalil tersebut atau lemahnya
pengetahuan dia terhadap kaidah-kaidah ushul. Dan terkadang akibat hawa
nafsu yang menjadikan ia memahaminya secara membabi buta tanpa
menelitinya lebih lanjut.
Contoh
kasus ini amatlah banyak terutama di kalangan ahlul bid'ah yang
berusaha mempertahankan bid'ahnya mati-matian, seperti orang yang
membuat lafadz-lafadz shalawat tertentu berdalil dengan keumuman hadits
mengenai keutamaan bershalawat, atau orang yang merayakan maulid
berdalil dengan ayat yang menunjukkan perintah untuk bergembira dengan
karunia dan nikmat Allah dan lain sebagainya, bila kita perhatikan
secara teliti sebetulnya dalil tersebut tidak mendukung apa yang mereka
inginkan. Wallahul musta'an.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan