11 Januari 2008

HUKUM TERTIB DALAM WUDHU

HUKUM TERTIB DALAM WUDHU
Para ulama bersepakat disyari’atkannya tertib di dalam berwudlu, namun mereka berselisih apakah hukumnya wajib atau sunnah menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama : hukumnya wajib, dan ini adalah salah satu pendapat Malik, madzhab Asy Syafi'I dan yang masyhur dari madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.
Pendapat kedua : Hukumnya sunnah, dan ini adalah madzhab Abu Hanifah dan yang masyhur dari madzhab Malik dan dipilih oleh sejumlah ulama Syafi'iyah seperti Al Muzani, ibnul Mundzir dan Abu Nashr Al Bandaniji.

Dalil-dalil pendapat pertama :
1. Firman Allah Ta'ala :
"Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak melakukan shalat maka cucilah wajahmu dan kedua tanganmu sampai siku-siku, dan usaplah kepalamu, dan (cucilah) kedua kakimu sampai dua mata kaki…". (Al Maidah : 6).
Sisi pendalilannya : bahwa Allah Ta'ala memasukkan mengusap kepala diantara anggota badan yang dicuci, sedangkan kebiasaan orang arab apabila menyebutkan sesuatu yang sejenis dengan yang tidak sejenis, disebutkan dahulu yang sejenis kemudian setelah itu menyebutkan yang tidak sejenis, dan mereka tidak menyelisihi kebiasaan tersebut kecuali untuk sebuah faidah. Sedangkan dalam ayat ini Allah memasukkan kepala yang diusap diantara dua yang dicuci, dan tidak diketahui faidahnya kecuali dalam rangka tertib berurutan.
2. Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
إِنَّهَا لَا تَتِمُّ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَيَغْسِلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ وَيَمْسَحَ بِرَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
"Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang dari kamu sampai ia menyempurnakan wudlu sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Azza wa jalla; ia mencuci wajahnya, mencuci kedua tangannya sampai siku-siku, mengusap kepalanya, dan (mencuci) dua kakinya sampai mata kaki".
Dikeluarkan oleh Abu Dawud no 858, dan ibnu Majah no 460 dari jalan Al Hajjaj bin Al Minhal haddatsana Hammam haddatsana Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah dari Ali bin Yahya bin Khollad dari ayahnya dari pamannya yaitu Rifa'ah bin Rafi'. Qultu : sanad ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan dishahihkan pula oleh syaikh Al Bani rahimahullah dalam shahih sunan Abi Dawud. Hammam yaitu bin Yahya bin Dinar Al 'Audzi.
Sisi pendalilannya : Al Khathabi rahimahullah berkata: "Di dalamnya terdapat fiqih yaitu bahwa tertib wudlu dan mendahulukan apa yang didahulukan oleh Allah di dalam Al Qur'an adalah wajib dan ini adalah makna sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: " sampai ia menyempurnakan wudlu sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Azza wa jalla". Kemudian menyebutkan setelahnya dengan huruf "fa" yang bermakna ta'qib tanpa terlambat".
3. Peraktek para shahabat ketika mencontohkan tata cara wudlu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam secara tertib. Diantaranya hadits 'Utsman bin 'Affan radliyallahu 'anhu :
أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا
"Dari Humran maula 'Utsman bahwa 'Utsman meminta air wudlu lalu beliau berwudlu; beliau mencuci dua telapak tangannya tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istintsar, kemudian mencuci wajahnya tiga kali, kemudian mencuci tangan kanannya sampai siku-siku tiga kali, kemudian mencuci tangan kirinya seperti itu juga, kemudian mengusap kepalanya kemudian mencuci kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali kemudian mencuci kaki kiri seperti itu juga kemudian berkata: "Aku melihat Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu seperti wudluku ini". (HR Bukhari dan Muslim dan ini adalah lafadz Muslim).
Diantaranya juga hadits Abdullah bin zaid radliyallahu 'anhu :
قِيلَ لَهُ تَوَضَّأْ لَنَا وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا بِإِنَاءٍ فَأَكْفَأَ مِنْهَا عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا كَانَ وُضُوءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"dikatakan kepadanya,"Berwudlulah seperti wudlu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau meminta bejana lalu menuangkan air kepada dua telapak tangannya dan mencucinya tiga kali, kemudian memasukkan tangannya dan mengeluarkannya lalu berkumur-kumur dan istinsyaq dari satu telapak tangan, beliau lakukan itu tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya dan mengeluarkannya lalu mencuci wajahnya tiga kali kemudian memasukkan tangannya dan mengeluarkannya lalu mencuci dua tangannya sampai siku-siku dua kali dua kali, kemudian memasukkan tangannya dan mengeluarkannya lalu mengusap kepalanya dari depan kebelakang kemudian mencuci dua kakinya sampai mata kaki kemudian berkata: "Beginilah wudlu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam". (HR Bukhari dan muslim dan ini adalah lafadz Muslim).
Sisi pendalilannya: Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Hadits ini menunjukkan tertib dalam mencuci anggota wudlu karena disitu digunakan kata "kemudian" pada seluruhnya".
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: "Semua shahabat yang menceritakan wudlu Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam, menceritakannya secara tertib. Dan ia menafsirkan apa yang ada dalam kitabullah".
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: "Dan adalah wudlu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dilakukan secara tertib dan muwalah dan beliau tidak pernah sekalipun menyalahinya (tidak tertib)".
Dalil-dalil pendapat kedua.
1. Firman Allah Ta'ala :
"Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak melakukan shalat maka cucilah wajahmu dan kedua tanganmu sampai siku-siku, dan usaplah kepalamu, dan (cucilah) kedua kakimu sampai dua mata kaki…". (Al Maidah : 6).
Sisi pendalilannya : bahwa wawu 'athof tidak mengharuskan tertib sebagaimana yang dikatakan oleh mayoritas ahli nahwu, dan Allah menyebutkan delapan jenis orang yang berhak mendapatkan zakat dalam surat At Taubah : 60 dengan menggunakan wawu 'athof sedangkan bila di dahulukan salah satunya dari yang lain tetap boleh.
2. Hadits tentang tata cara tayamum yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasalam:
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى الْأَرْضِ فَنَفَضَهَا ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ عَلَى يَمِينِهِ وَبِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ عَلَى الْكَفَّيْنِ ثُمَّ مَسَحَ وَجْهَهُ
"Sesungguhnya cukuplah bagimu melakukan begini : beliau menepukkan tangannya ke bumi lalu menggerakkannya kemudian mengusap tangan kanannya dengan tangan kirinya dan mengusap tangan kirinya dengan tangan kanannya kemudian mengusap wajahnya". (HR Abu Dawud).
Sisi pendalilannnya : Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkan tertib dalam tayammum, dan jika tertib dalam tayammum bukan syarat maka tertib dalam wudlupun bukan syarat, karena tidak ada bedanya.
3. Hadits-hadits yang menunjukkan tidak tertib dalam wudlu, yaitu :
Pertama : Dari shahabat Al Miqdam bin Ma'dikarib ia berkata :
أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلَاثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا
"Didatangkan air wudlu kepada Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau berwudlu; mencuci dua telapak tangannya tiga kali kemudian mencuci wajahnya tiga kali kemudian mencuci dua hastanya tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali dan mengusap kepalanya dan telinganya bagian luar dan dalam dan mencuci dua kakinya tiga kali". (HR Ahmad).
Kedua : Dari Busr bin Sa'id ia berkata :
أَتَى عُثْمَانُ الْمَقَاعِدَ فَدَعَا بِوَضُوءٍ فَتَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا وَرِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا يَتَوَضَّأُ يَا هَؤُلَاءِ أَكَذَاكَ قَالُوا نَعَمْ لِنَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Utsman mendatangi maqa'id dan meminta air wudlu lalu beliau berkumur-kumur dan istinsyaq kemudian mencuci wajahnya tiga kali kemudian kedua tangannya tiga kali tiga kali dan kedua kakinya tiga kali tiga kali kemudian mengusap kepalanya kemudian berkata: "Aku melihat Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu begini, wahai kalian apakah benar demikian ? mereka menjawab: "Ya". Beliau berkata kepada sekelompok shahabat Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam. (HR Ad Daraquthni).
Ketiga : Hadits ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah berwudlu maka beliau mencuci wajahnya dan dua tangannya kemudian dua kakinya kemudian mengusap kepalanya dengan sisa air wudlunya.
4. Perkataan Ali bin Abi Thalib radliyallahu: "Aku tidak peduli apabila aku menyempurnakan wudlu dengan anggota wudlu manapun aku memulai". Dan perkataan ibnu Mas'ud radliyallahu 'ahnu: "Tidak mengapa engkau memulai dua kakimu sebelum dua tanganmu dalam wudlu".
Jawaban terhadap pendapat kedua.
Yang rajih dari kedua pendapat di atas adalah pendapat pertama yang mewajibkan tertib dalam mencuci anggota wudlu, wallahu a'lam. Adapun dalil-dalil pendapat kedua dapat kita jawab dengan jawaban berikut ini :
pertama : Perkataan mereka bahwa wawu 'athof tidak mengharuskan tertib adalah benar namun kaidah umum tersebut tidak berlaku ketika adanya qarinah (penguat) yang menunjukkan kepada tertib, dan telah kita sebutkan bahwa kebiasaan orang arab apabila menyebutkan sesuatu yang sejenis dengan yang tidak sejenis, disebutkan dahulu yang sejenis kemudian setelah itu menyebutkan yang tidak sejenis, dan mereka tidak menyelisihi kebiasaan tersebut kecuali untuk sebuah faidah. Sedangkan dalam ayat ini Allah memasukkan kepala yang diusap diantara dua yang dicuci, dan tidak diketahui faidahnya kecuali dalam rangka tertib berurutan.
Kedua : qiyas mereka dengan tayamum adalah tidak tepat dari dua sisi :
Pertama : Bahwa ia adalah qiyas kepada pokok yang masih diperselisihkan sedangkan diantara syarat qiyas adalah hukum pokoknya harus disepakati oleh kedua belah pihak yang berselisih.
Kedua : Ia adalah qiyas yang berbeda, karena tayamum walaupun berfungsi sebagai pengganti wudlu akan tetapi sifatnya tidak serupa dengan wudlu; tayammum hanya mengusap dua anggota saja berbeda dengan wudlu, tidak ada dalam tayammum berkumur-kumur dan istinsyaq, dan tayammum tidak disyari'atkan padanya diulang dua dan tiga kali berbeda dengan wudlu.
Ketiga : Hadits-hadits yang menunjukkan tidak wajibnya tertib semuanya lemah tidak dapat dijadikan hujjah, penjelasannya sebagai berikut :
Pertama : Hadits Al Miqdam bin Ma'dikarib dikeluarkan oleh imam Ahmad dan Abu Dawud dari jalan Hariz bin Utsman Ar Rahbi dari Abdurrahman bin Maisarah dari Al Miqdam. Dan Abdurrahman bin Maisarah dikatakan oleh ibnul Madini : "Majhul". Ibnul Qathan berkata: "Majhul hal". Dan dianggap tsiqah oleh Al 'Ijli dan ibnu Hibban yang keduanya terkenal sangat longgar dalam mentsiqahkan perawi, oleh karena itu Al Hafidz ibnu Hajar tidak menerima pentsiqahan mereka berdua, Al Hafidz berkata mengenai Abdurrahman bin Maisarah: "Maqbul". Artinya diterima jika dimutaba'ah namun jika bersendirian haditsnya layyin (lemah), dan ini maknanya bahwa periwayatan Abdurrahman bin Maisarah tidak diterima jika bersendirian, bagaimana jadinya jika ia menyelisihi ?! dan di sini ia telah menyelisihi riwayat-riwayat yang shahih dari para shahabat seperti Utsman, Abdullah bin Zaid dan Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhum yang memperaktekan wudlu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam secara tertib.
Jika ada yang berkata: "Bukankah Abu Dawud berkata: "Syuyukh (guru-guru) Hariz semuanya tsiqah". Sedangkan Abdurrahman bin Maisarah termasuk gurunya Hariz. Dijawab bahwa perkataan ini bersifat umum dapat dipakai selama tidak ada perkataan ulama jarh wata'dil yang menyelisihinya, dan bila ada perkataan ulama yang menyelisihinya maka lebih didahulukan dari perkataan yang bersifat umum tersebut, karena hampir setiap yang umum selalu ada yang mengkhususkannya, dan setiap kaidah biasanya ada perkara yang tidak masuk kaidah tersebut. Oleh karena itu Al Hafidz ibnu Hajar tidak menganggap perkataan Abu Dawud tadi sebagai hujah untuk mentsiqahkan Abdurrahman bin Maisarah. Wallahu a'lam.
Kedua : Hadits Busr bin Sa'id juga dla'if, dikeluarkan oleh Ad Daraquthni (1/85) dari jalan ibnul Asyja'I haddatsana ayahku dari Sufyan Ats Tsauri dari Salim Abu Nadlr dari Busr bin Sa'id. Ad Daraquthni berkata setelahnya: "Shahih kecuali mengakhirkan usapan kepala karena ia tidak mahfudz (syadz), ibnul Asyja'i bersendirian meriwayatkannya dengan sanad dan lafadz ini, sedangkan Abdullah bin Al Walid, Yazid bin Abi Hakim, Al Firyabi, Abu Ahmad, dan Abu Hudzaifah meriwayatkan dari Ats Tsauri dengan lafadz: "Sesungguhnya Utsman berwudlu tiga kali-tiga kali dan berkata: "Beginilah aku melihat Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu". Dan mereka semua tidak memberikan tambahan lafadz lebih dari ini".
Sementara imam Ahmad (1/67-68) meriwayatkan hadits tersebut dengan lafadz: "Kemudian mengusap kepalanya dan dua kakinya tiga kali-tiga kali…". Ahmad Syakir berkata: "Sanadnya shahih". Dan hadits Utsman mempunyai jalan-jalan lainnya tentang sifat wudlu namun tidak ada satupun yang menyebutkannya dengan tanpa tertib.
Ketiga : Adapun hadits ibnu Abbas adalah hadits yang tidak ada asalnya, disebutkan oleh ibnul Jauzi dalam At Tahqiq (1/163) dengan tanpa sanad dan beliau berkata: "Tidak sah". Dan disebutkan juga oleh An Nawawi dan beliau berkata: "Tidak dikenal".
Keempat : Sedangkan atsar Ali bin Abi Thalib dan ibnu Mas'ud adalah lemah juga, penjelasannya sebagai berikut :
Adapun atsar Ali dikeluarkan oleh ibnu Abi Syaibah (1/39), ibnul Mundzir dalam Al Ausath (1/422), Abu Ubaid dalam Ath Thuhur (341), Ad Daraquthni dalam sunannya (1/88) dan Al Baihaqi dalam Sunan Kubra (1/87) dari jalan 'Auf dari Abdullah bin Amru bin Hindun dari Ali. Dan 'Auf bin Abdullah adalah dla'if, Ad Daraquthni berkata: "Laisa bil qawiy (kurang kuat)".
Dan juga sanadnya munqathi' (terputus). Abu Hatim Ar Razi rahimahullah berkata: "Abdullah bin 'Amru bin Hindun tidak pernah mendengar dari Ali". (Al Marasil no 109). Dan Al Baihaqi mendla'ifkan atsar ini.
Sedangkan atsar ibnu Mas'ud dikeluarkan oleh ibnu Abi Syaibah (1/39), ibnul Mundzir dalam Al Ausath (1/422) dan Ad Daraquthni (1/89) dari jalan ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Mujahid dari Abdullah bin Mas'ud.
Sanad ini mempunyai dua 'illat :
a. Ibnu Juraij terkenal sebagai perawi mudallis dan disini ia membawakan riwayat dengan lafadz 'an dan tidak tegas menyatakan mendengar.
b. Sanadnya terputus, Al Baihaqi berkata: "Mujahid tidak bertemu dengan ibnu Mas'ud". (Al Kubra 1/81). Dan atsar ini dikatakan oleh Ad Daraquthni: "Tidak tsabit". Maksudnya lemah.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan