Takhrij
hadits: " Thowaf di ka’bah adalah sholat"
Dari ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma, Nabi sallallahu
‘alahi wasallam bersabda :
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ
‘’ Thowaf di ka’bah adalah sholat ‘’.
Hadits ini diriwayatkan secara marfu’ dan mauquf, adapun
secara marfu’ diriwayatkan oleh At Tirmidzi 3/293 no. 960 dan lainnya
dari beberapa jalan dari ‘Atho bin As Saib dari Thowus dari ibnu ‘Abbas
secara marfu’.
Dan ‘Atho bin Saib ini mukhtalith akan tetapi diantara
perawi darinya adalah Sufyan Ats Tsauri sebagaimana diriwayatkan oleh Al
Hakim dalam Al Mustadrok no. 1686, dan Sufyan Ats Tsauri mendengar dari
‘Atho sebelum ikhtilath sehingga sanadnya hasan karena Atho ini shoduq
sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafidz dalam At Taqrib. dan Atho di
mutaba’ah oleh Laits bin Abi Sulaim dari Thowus dari ibnu ‘Abbas secara
marfu’ namun laits perawi yang mukhtalith juga.
Adapun riwayat yang mauquf dikeluarkan oleh Abdurrozzaq
dalam al mushonnaf no 9789 dan lainnya dari beberapa jalan dari Abdullah
bin Thowus dari Thowus dari ibnu ‘Abbas, juga dari jalan Ibrahim bin
Maisaroh dari Thowus dari ibnu Abbas dikeluarkan oleh Abdurrozzaq juga
dalam al mushonnaf no 9790. Dan keduanya adalah perawi yang tsiqah.
Bila kita perhatikan, tampak bahwa riwayat ‘Atho bin Saib
dan laits bin Abi Sulaim yang marfu’ berlawanan dengan riwayat Ibrahim
bin Maisaroh dan Abdullah bin Thowus yang meriwayatkan secara mauquf,
sehingga riwayat ‘Atho dianggap syadz oleh sebagian ulama, akan tetapi
riwayat ‘Atho dikuatkan oleh riwayat Abdurrozzaq dan Rouh haddatsana
ibnu Juraij dari AlHasan bin Muslim dari Thowus dari seseorang yang
bertemu dengan Nabi sallalahu ‘alaihi wasallam bahwa Nabi bersabda :”
Sesungguhnya thowaf itu sholat, maka apabila kamu thowaf sedikitkanlah
berbicara “. Dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya no 15461 demikian
secara marfu’ dan sanadnya shahih. Namun An Nasai dalam Ash Shughro no
2922 meriwayatkan dari jalan ibnu Wahb dari ibnu Juraij dari Al Hasan
bin muslim secara mauquf, sedangkan dalam Al Kubro dari jalan yang sama
secara marfu’ dan yang rajih pada riwayat Al Hasan bin Muslim adalah
marfu’ karena Abdurrozzaq dan Rouh adalah dua rawi yang tsiqoh.
Kesimpulannya adalah bahwa hadits ibnu ‘Abbas ini shahih
baik yang marfu’ maupun yang mauquf. Dan periwayatan yang mauquf disini
bukanlah illat, karena perawinya terkadang meriwayatkan secara marfu’
dan terkadang secara mauquf Wallahu a’lam.
Fiqih hadits:
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum wudlu untuk thawaf apakah syarat
atau bukan menjadi dua pendapat :
Mayoritas
ulama mensyaratkan wudlu untuk sahnya thowaf, dan ini adalah pendapat
imam Malik, imam Asy Syafi’I dan yang masyhur dari madzhab imam Ahmad. Mereka berdalil dengan beberapa dalil, yaitu :
1.
Hadits Aisyah radliyallahu ‘anha ia berkata :’’ Sesungguhnya yang
pertama kali Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam mulai ketika datang adalah
berwudlu kemudian thowaf… (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits
ini walaupun berbentuk perbuatan akan tetapi ia menunjukkan wajib,
karena sebagaimana yang disebutkan dalam ushul fiqih bahwa perbuatan
Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam apabila dalam rangka menjelaskan nash
yang berbentuk perintah yang wajib maka hukumnya pun menjadi wajib, dan
perbuatan Nabi tersebut dalam rangka memperaktekan firman Allah : وليطوفوا بالبيت
العتيق
Dan hendaklah mereka thowaf di baitil ‘atieq (Ka’bah) ‘’.
2. Hadits Aisyah radliyallahu ‘anha ketika beliau tertimpa
haidl di haji wada’, maka Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
kepadanya :
افْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أّلاَّ تَطُوْفِيْ
بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِيْ
‘’ Lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang
berhaji kecuali engkau tidak boleh thowaf di bait (ka’bah) sampai engkau
suci ‘’. (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits ini melarang wanita haidl berthowaf di ka’bah sampai
ia suci, ini menunjukkan bahwa alasan pelarangan wanita haidl untuk
thowaf adalah adanya hadats, bukan semata mata karena tidak boleh masuk
ke dalam masjid, sebab Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :’’
sampai ia suci ‘’. Dalam riwayat lain :’’ sampai ia mandi ‘’. Beliau
tidak bersabda : sampai darah haidlmu berhenti.
3. Hadits ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma, Nabi sallallahu
‘alahi wasallam bersabda :
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ
‘’ Thowaf di ka’bah adalah sholat ‘’.
Hadits ini menunjukkan bahwa thowaf itu seperti sholat maka
disyaratkan bersuci untuk thowaf sebagaimana disyaratkan bersuci untuk
sholat.
Sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa wudlu bukan syarat
sah thowaf dan ini adalah pendapat imam Ahmad dalam suatu riwayat.
Dasarnya adalah karena tidak adanya dalil yang tegas yang
menunjukkan pensyaratan wudlu untuk thowaf, padahal di zaman Rosulullah
sallallahu ‘alaihi wasallam banyak sekali kaum muslimin yang melakukan
thowaf, namun tidak pernah ada bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan mereka untuk berwudlu, sementara ada kemungkinan batalnya
wudlu mereka ketika thowaf, lebih lebih pada waktu itu manusia sangat
banyak melakukan thowaf hingga berdesak desakkan, dan besar kemungkinan
wudlu diantara mereka batal, namun tatkala tidak ada dalil yang tegas
memerintahkan untuk berwudlu tidak pula ada ijma’ ulama padahal kaum
muslimin sangat butuh kepada hal itu, ini menunjukkan bahwa wudlu
bukanlah syarat sah thowaf.
Mengkritisi dalil-dalil jumhur.
Adapun dalil jumhur yang pertama yaitu hadits ‘Aisyah
hanyalah menunjukkan kepada hukum sunnah saja, karena sebatas perbuatan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah menunjukkan kepada sunnah.
Jika dikatakan,” Bukankah perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam tersebut dalam rangka memperaktekan perintah Allah yang
wajib, sedangkan perbuatan Nabi bila dalam rangka memperaktekan
perintah yang wajib, maka hukum hukum perbuatan tersebut sama dengan
hukum perintahnya ?
Dijawab : bahwa perkataan tersebut berkonsekwensi
mewajibkan semua yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan dalam
thowaf seperti idthiba’, romal (berlari kecil) di tiga putaran pertama,
memegang hajar aswad dan menciumnya, do’a diantara dua rukun, sedangkan
jumhur tidak menganggapnya wajib, padahal itu semua adalah perbuatan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rangka memperaktekan perintah
Allah juga. Maka untuk mewajibkannya butuh kepada dalil lain, wallahu
a'lam.
Adapun
dalil jumhur yang kedua yaitu larangan wanita haidl untuk thowaf sampai
ia suci, maka sesuatu yang di haramkan untuk wanita haidl belum tentu
di haramkan untuk selain haidl dari orang yang terkena hadats, seperti
wanita haidl haram tinggal di masjid atas pendapat jumhur namun tidak
haram bagi yang berhadats kecil.
Bila
dikatakan bahwa alasan pelarangannya bukan karena berhubungan dengan
masjid, akan tetapi karena thowaf itu sama dengan sholat, dimana tidak
sah sholat tanpa wudlu demikian pula thowaf sebagaimana yang ditunjukkan
oleh dalil yang ketiga dari dalil jumhur.
Dijawab
bahwa banyak sekali perbedaan antara thowaf dan shalat diantaranya
bahwa thowaf diperbolehkan padanya makan dan minum sedangkan sholat
tidak, sholat dibuka dengan takbir dan ditutup dengan taslim sedangkan
thowaf tidak, sholat wajib membaca al fatihah sedangkan thowaf tidak,
thowaf bisa diputus oleh sholat fardlu atau janazah lalu meneruskan
sisanya sedangkan sholat tidak, gerakan yang banyak dapat membatalkan
sholat dan tidak membatalkan thowaf dan perbedaan lainnya.
Syaikhul
islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :” Kemudian aku mentadabburi
(mempelajari) masalah ini, maka menjadi nyata bagiku bahwa suci dari
hadats bukan syarat sah thowaf…”. Terlebih di
zaman ini orang-orang yang berthawaf di musim haji sangatlah ramai dan
penuh sesak sebagaimana yang kita saksikan sehingga amat sulit bila
seseorang wajib berwudlu bila ia berhadats ketika thawaf. Wallahu 'alam
bishawab.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan